Halaman Depan

Agenda Remaja Masjid

Buletin Rihlah

Buletin Untaian Kata

Contact Person



IMAN TERHADAP ISLAM

MENGHARUSKAN TERIKAT HUKUM SYARA'

       Seluruh amal perbuatan manusia yang menjadi pilihannya tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya pernyataan dari syara’. Amal perbuatan itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah. Manusia dibiarkan melakukan amal itu sesuai dengan apa yang diabnggapnya sebagai maslahat. Sebab, tidak ada ‘taklif’ (beban hukum) sebelum datangnya pernyataan syara’. Allah SWT berfirman:

“Dan Kami tidak akan mengadzab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus  seorang rasul.” (Al Isra’ 15)

            Berdasarkan ayat tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Allah SWT memberikan jaminan kepada hamba-Nya bahwa tidak akan diazab seorang manusia (yang diciptakan-Nya) atas perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutus seorang rasul kepada mereka. Jadi, mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan, karena mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun. Tatkala Allah SWT mengutus seorang rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut dan tiidak ada alasan lagi untuk tidak mengikatkan diri terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh rasul tersebut.

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An Nisa’ 165)

            Dengan demikian, siapapun yang tidak beriman kepada rasul tersebut, pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak tentang ketidak-imanannya dan ketidak-terikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada rasul, serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya, ia pun akan dimintai pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap salah satu hukum dari hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut.

            Atas dasar ini, maka setiap muslim diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum Islam, karena wajib atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT.

“…Apa yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa hukum) kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah….” (AL Hasyr 77)

            Dalam hal ini, tidak bisa dikatakan bahwa apa yang tidak diperintahkan atau tidak dilarang oleh Rasulullah Saw, maka hal itu tidak dibebankan atas manusia. Sebab, beban hukum menurut syara’ adalah ‘aam (mencakup seluruh perbuatan) sebagaimana umumnya risalah (Islam) untuk setiap perbuatan manusia, dan bukan untuk perbuatan-perbuatan tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semuanya.” (Al A’raf 158)

            Oleh karena itu, telah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apa saja yang dibawa Rasulullah berupa suatu hukum akan mencakup setiap perbuatan. Dan apa-apa yang dilarang oleh beliau juga mencakup setiap perbuatan.

            Dengan demikian, setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib baginya secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai hukum syara’.

            Begitu juga tidak dapat dikatakan bahwa ada hal-hal yang tidak ada ketentuan syara’nya, lalu manusia diberi kebebasan memilih, apakah akan melakukannya atau tidak. Bila demikian halnya, berarti syari’at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok, kecuali untuk masa dan keadaan tertentu (di masa rasul saja). Tentu saja hal ini bertentangan dengan syari’at itu sendiri, serta kenyataan yang sesuai dengannya.

            Memang syari’at tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci terhadap segala sesuatu, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum yang sudah terperinci tersebut. Tetapi, Islam datang dengan makna-makna umum yang berkaitan dengan problem hidup dan dengan suatu titik pandang bahwa sasarannya adalah manusia, tanpa memandang waktu dan tempat. Kemudian berlaku juga di bawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain. Jika muncul satu permasalahan atau kejadian baru, maka harus dikaji dan dipahamai keadaannya. Kemudian, untuk memecahkannya dilakukan ‘istinbath’ dari makna yang bersifat umum yang terkandung dalam syaria’at, maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam problem/peristiwa tersebut. 

            Kaum muslimin telah melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah Saw, hingga lenyapnya Daulah Khilafah Islam dari muka bumi ini. Bahkan, masih ada di antara kaum muslimin yang berpegang teguh kepada syari’at Islam dan menjalankan kehidupannya atas dasar syari’at Islam. Di masa Abu Bakar r.a. muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai di zaman Rasulullah Saw; begitu pula telah muncul persoalan-persoalan baru di masa Harun Al Rasyid yang tidak ditemui di masa Abu Bakar r.a. Maka para mujtahidin, yang jumlahnya saat itu ribuan, mengggali status hukum terhadap masalah yang sebelumnya tidak pernah ditemukan, sampai mereka memecahkannya.

            Demikianlah sikap kaum muslimin yang dilakukan terhadap setiap masalah dan kejadian baru, karena syari’at Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, tidak ada satu pun problem hidup atau masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya.

            Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan apa pun, kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT..

Wallaahu A’lam Bish Showab.

 

Disalin dari Bunga Rampai Pemikiran Islam