Halaman Depan

Agenda Remaja Masjid

Buletin Rihlah

Buletin Untaian Kata

Contact Person



WAJIB SERENTAK DALAM MENGAWALI DAN MENGAKHIRI RAMADHAN

Sesungguhnya puasa Ramadhan, ‘Iedul Fitri dan ’Iedul Adha di samping merupakan aktivitas ibadah yang menyangkut hubungan antara kaum muslimin dengan Al Khaliq, juga merupakan salah satu bentuk syi’ar ummat Islam. Kaum muslimin, diseluruh dunia, memulai puasa
 

Ramadhan secara serentak pada hari yang sama. Mereka juga merayakan ‘Iedul Fitri pada hari yang sama pula. Aktivitas tersebut dilakukan sebagai wujud ketaatan terhadap perintah Allah SWT yang telah menyatukan mereka. Dan bukan didasarkan oleh keputusan-keputusan para penguasa politik atau fatwa para ulama’, pemerintah yang nifak yang senantiasa merekayasa terpecah-belahnya ummat Islam.
 

Berkenaan dengan bulan Ramadhan, Rasulullah bersabda: “Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila kamu melihat anak bulan (hilal) Ramadan, hendaklah kamu berpuasa. Apabila kamu melihat anak bulan Syawal, hendaklah kamu berbuka. Jika ianya dilitupi terhadap kamu, berpuasalah selama tiga puluh hari” (Bukhari Muslim:608)
“Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya (hilal). Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah” (HR. Muslim)
 

Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang dimulainya dan diakhirinya berpuasa Ramadhan. Sehingga tidaklah wajar bila ada perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan karena hadist tersebut bersifat umum/menyeluruh, dari negara-negara sedunia.
 

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Tidak boleh berpuasa pada dua hari tertentu, yaitu Hari Raya Korban (Idul Adha) dan hari berbuka dari bulan Ramadan (Idul Fitri)” (Bukhari Muslim: 648)
Maka bila seseorang yang berpuasa berpuasa pada tanggal 1 hijriah dan 10, 11, 12, 13 Dzulhijah hukumnya haram.
 

Dalam faktanya dalam satu negara - contohnya beberapa saat yang lalu Indonesia - pernah terjadi perbedaan dalan menentukan hari raya Idul fitri. Kita tinjau dari logika saja apakah mungkin dalam satu bulan terdapat dua kali tanggal 1 Hijriah dalam satu negara. Hari ini tanggal 1 Hijriah dan besok juga tanggal 1 Hijriah. Tetapi anehnya bila hari raya Iedul Adha kita selalu sama. Inilah yang dapat membuat perpecahan dan ukhuwah Islamiah dapat hancur, sehingga kaum kafir dapat dengan mudah untuk mengadu domba antara sesama kaum muslimin.
 

Perbedaan ulama :
1. Imam Syafi’i : Apabila ru’yatul hilal di suatu daerah telah terbukti, maka berdasarkan pembuktian ini penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan ( antar 2 daerah ) dihitung menurut kesamaan matla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh ( kurang lebih 120 km ). Adapun penduduk daerah yang jauh, mereka tidak wajib puasa dengan ru’yat ini, karena terdapat perbedaan matla’.
2. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad : Apabila ru’yatul hilal telah terbukti ( terlihat ) di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain ( juga ) wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan sampai kepada mereka dengan cara ( terpercaya ) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan matla’ hilal ( tempat terbitnya bulan ) secara mutlak.
3. Ibnu Hajar yang menyatakan tidak boleh ru’yah dengan menggunakan alat sebangsa kaca (nahwi wirati).
4. Asyarwani yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebangsa kaca adalah air, ballur (benda yang berwarna putih seperti kaca), dan alat yang mendekatkan yang jauh atau memperbesar yang kecil. Namun, kemudian beliau mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa walaupun menggunakan alat tetap masih bisa disebut ru’yah.
5. Al Muti’I menyatakan ru’yah bil fi’li dengan mempergunakan alat (nadhara) tetap dapat diterima karena yang terlihat melalui alat tersebut adalah hilal itu sendiri (Ainul hilal) buka yang lain. Fungsi alat hanya untuk membantu penglihatan dalam melihat yang jauh atau sesuatu yang kecil.
 

Dari pendapat Imam Syafi’i kurang tepat, karena 2 alasan :
a. Pendapat itu berdasar kepada ijtihad Ibnu Abbas ra dalam hal bolehnya berpuasa bagi setiap daerah tertentu tidak berlaku bagi daerah yang lain.
b. Belum jelasnya manathul ( fakta yang menjadi obyek penetapan hukum ) pada zaman itu. Dengan fakta lain pemahaman mengenai fakta kedudukan atau posisi tempat terbitnya bulan belum sempurna seperti saat sekarang. Imam Syafi’i menyandarkan pendapatnya pada Ibnu Abbas. Hadits yang menjelaskan ijtihad Ibnu Abbas itu adalah
“Diriwayatkan dari Kuraib bahwa Ummu Fadl telah mengurtusnya menenmui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata ‘Lalu aku pergi ke Syam dan menyelesaikan urusan Ummu Fadl trnyata bulan Ramadhan telah tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat bulan pada hari Jumat, kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Saat itu Ibnu Abbas bertanya padaku tentang hilal. Ia bertanya,’ Kapan kamu lihat bulan ?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jumat.’ Ia bertanya lagi,’ Apakah kau melihatnya ?’ aku menjawab,’ Ya, dan orang-orang juga melihatnya.’ Lalu mereka pun berpuasa begitu pula Muawiyah. Dia berkata lagi,’ Tapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga sempurna bilangan 30 hari, dan hingga kami melihatnya. Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyah ?’ dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasullullah saw memerintahkan pada kami.” (HR Jama’ah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majjah)
 

Mengenai manathul hukmi sesungguhnya pemahaman para imam-imam madzhab saat itu belum sejelas pemahaman kita di zaman sekarang. Artinya pendapat ketiga imam tersebut lebih sesuai untuk fakta astronomi saat ini, daripada pendapat imam Syafi’i. Terbukti misalnya lahirnya bulan sabit (di luar angkasa) terjadi pada waktu yang sama di seluruh bumi. Hanya saja memang terjadi perbedaan dalam melihat bulan (dari bumi), tergantung perbedaan letak masing-masing negeri. Menentukan dan menaksir perbedaan waktu dengan perbedaan jarak 120 km menghasilkan waktu 4 menit lebih sedikit. Waktu 4 menit tidaklah berpengaruh sedikitpun (dalam penentuan hari dan tanggal). Lalu bagaimana mungkin kita jadikan tolak ukur dalam penentuan shaum dan ‘Ied.
 

Pendapat dari Asyarwani dan Al Muti’I menyatakan bahwa boleh meru’yat dengan menggunakan alat bantu yang saat ini sudah semakin maju. Dan sejalan dengan makin canggihnya sarana komunikasi, teknologi, dan penyebaran informasi, kini telah diusulkan sebuah metode yang bernama Free Horizont (Horizon Bebas). Metode ini, menurut A. Komara Mulyana MSc, staf pneliti pada Bakosurtanal menyatakan bahwa penentuan awal bulan didasarkan pada ru’yat global, bukan ru’yat lokal. Dengan demikian apabila di tempat tertentu hilal telah terlihat, maka daerah-daerah lain yang pada waktu terlihat hilal belum masuk waktu imsak, wajib mengikuti ru’yat ini, yakni berpuasa keesokan harinya.
 

Bagaimana dengan hisab ?
Dalam kitab syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi dan dalam Fathul Barri terdapat hadits Nabi saw “Kami adalah umat yang ‘ummy, kami tidak dapat menulis atau menghitung. Satu bulan ada begini, begini, begini ( seraya meyodorkan kesepuluh jari tangan 3 kali dengan menekuk jari jempol pada sodoran ketiga ). Dan satu bulan adalah begini, begini, begini (dengan membuka semua jari pada ketiga sodoran). Lafadh hadits menurut Imam Muslim.
 

Imam Hajar kemudian memberi komentar hadits ini sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan hisab pada hadits ini adalah hisabun nujum (perhitungan ilmu falak) dan peredarannya. Orang-orang dahulu belum mengetahui ilmu itu, kecuali sedikit dan pengetahuannya pun amat sederhana. Ikaitkan dengan puasa dan perkara lainnya dengan ru’yat adalah untuk menghilangkan kesukaran dari mereka dalam menggunakan hisab peredaran bulan.
 

Dari penjelasan di atas nampak bahwa Ibnu Hajar hanya menggunakan ru’yat saja, tidak menggunakan hisab. Pendapat ini juga dipegang oleh Jumhur Fuqaha pada saat itu. Namun bila ditelaah lebih dalam, pendapat itu sebenarnya tidaklah berarti pengharaman dalam penggunaan hisab. Mengingat secara hukum hisab itu mubah untuk dipakai. Maka dari itu ilmu hisab dapat dimanfaatkan, misalnya untuk meramalkan waktu yang tepat untuk ru’yat. Akan tetapi, hisab tidak dapat menggantikan posisi ru’yat secara mutlak, dalam arti menggunakan hisab sebagai satu-satunya cara penetapan awal – akhir Ramadhan dan meninggalkan ru’yat sama sekali. Sebab syara’ telah menetapkan berdasarkan nash-nash yang shahih bahwa penetapan awal – akhir Ramadhan dengan ru’yat adalah WAJIB, sementara mempergunakan hisab hukumnya MUBAH. Jadi posisi hisab astronomi adalah membantu untuk menentukan tempat-tempat dan waktu yang tepat dalam menentukan ru’yatul hilal.
 

Dari penjelasan diatas jelas bahwa penentuan awal dan akhir ramadhan wajib untuk serentak dalam satu negara bahkan di seluruh dunia. Ini merupakan seruan yang syar’i dan khat’i sehingga mengikat seluruh kaum muslimin. Bila di negara Arab, Nigeria, palestina, Amerika dan negara-negara lain sudah melihat hilal terlebih dahulu maka kita juga wajib berpuasa dan berbuka. Kita tidak boleh berpuasa pada hari yang berbeda karena memihak suatu golongan/organisasi yang kita ikuti tetapi ikutilah yang paling benar. Sehingga bila dalam menghadapi awal dan akhir Ramadhan kita serentak maka ukhuwah Islamiah akan menjadi kuat dan itulah yang ditakuti oleh kaum kafir. Karena itu ru’yat internasional sangat diperlukan dan merupakan media pemersatu Ummat.
 

Wallahu A’lam bish-Showab
Dikutip dari Buletin Wawasan dan Rukyat Dengan Teknologi