Halaman Depan

Agenda Remaja Masjid

Buletin Rihlah

Buletin Untaian Kata

Contact Person



MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH
 

ecara fitri, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk mensucikan sesuatu (taqdis). Berdasarkan fitrahnya itulah, manusia melakukan ibadah terhadap sesuatu. Berarti, ibadah merupakan manivestasi (hasil reaksi) alami dari naluri beragama (gharizah tadayyun). Oleh karena itu, manusia akan merasakan suatu ketentraman dan kebahagiaan tatkala melakukan ibadah. Sebab, ketika itu ia telah memenuhi tuntutan gharizah tadayyun.

Namun demikian masalah ibadah tidak boleh diserahkan begitu saja kepada hati sanubari (wijdan) untuk menentukan apa yang seharusnya diibadahi. Sebab bila hanya mengandalkan wijdan saja, manusia akan cenderung terjerumus dalam kesalahan dan kesesatan. Sebagian besar sesembahan manusia yang didasarkan dorongan wijdan saja, adalah suatu hal yang sebenarnya harus dilenyapkan dan sebagian besar yang disucikan oleh manusia berdasarkan wijdan saja adalah suatu hal yang harus direndahkan. Apabila wijdan dibiarkan menentukan sendiri apa yang selayaknya disembah oleh manusia, maka hal ini dapat membawa kepada kesesatan dalam beribadah, yaitu selain kepada Al Khaliq atau dapat menjerunuskan pada perbuatan khurafat dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Al Khaliq.

Hal seperti itu bisa saja terjadi, sebab wijdan adalah suatu perasaan yang terbentuk dari naluriah semata (ihsaas gharizy); atau suatu perasaan yang muncul dari dalam manusia akibat adanya suatu kenyataan yang diindera atau dirasakan berinteraksi dengan manusia. Hal ini bisa juga muncul dari suatu proses pemikiran yang dapat membangkitkan perasaan itu apabila manusia kembali hanya mengandalkan perasaannya saja untuk sampai pada kesimpulan di atas tanpa disertai proses berpikir, akan cenderung untuk terjerumus dalam kesesatan atau kesalahan.

Oleh karena itu, manusia tidak diperbolehkan  (begitu saja) memenuhi tuntutan gharizah, kecuali disertai dengan penggunaan akal. Dengan kata lain, tidak boleh ia melakukan suatu tindakan yang semata-mata berasal dari dorongan wijdan saja, tetapi sebaliknya harus menggabungkan akal dengan wijdan. Berdasarkan hal ini, maka taqdis (mensucikan sesuatu), harus dibangun berdasarkan proses berpikir yang disertai perasaan wijdan. Akal manusia memastikan bahwa ibadah hanya dilakukan kepada Al Khaliq, karena Dialah yang mempunyai sifat azali (tak berawal dan berakhir) dan wajibul wujud (wajib keberadaannya). Dialah yang telah menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan ini. Yang memiliki sifat-sifat sempurna secara mutlak. Jika seseorang telah meyakini keberadaan-Nya, maka ia akan mengharuskan dirinya untuk menyembah dan melakukan ibadah kepada-Nya semata.

Adanya pengakuan bahwa Dia adalah Al Khaliq, baik secara fitri maupun aqli, mengharuskan seseorang yang mengakuinya untuk beribadah kepada-Nya. Sebab, ibadah adalah suatu bentuk manivestasi perasaannya terhadap keberadaan Al Khaliq. Ibadah merupakan bentuk manivestasi rasa syukur tertinggi yang wajib dilakukan makhluk kepada dzat yang telah memberinya nikmat penciptaan dan pengadaan. Fitrah manusia dan akal manusia mengharuskan adanya ibadah. Sedangkan akal memastikan bahwa yang berhak disembah, disyukuri, dan dipuji adalah Al Khaliq, bukan selainnya (makhluk).

Oleh karena itu, kita menyaksikan bahwa orang-orang yang pasrah (menyerahkan diri) hanya kepada wijdan saja sebagai bentuk manivestasi taqdisnya tanpa menggunakan akalnya, terjerumus dalam kesesatan sehingga menyembah banyak sesembahan, di samping pengakuannya terhadap wujud Al Khaliq yang wajibul wujud dan bersifat tunggal. Akan tetapi, ketika membangkitkan manivestasi gharizah tadayyun, mereka mensucikan yang lain. Mereka melakukan ibadah kepada Al Khaliq, tetapi juga sekaligus kepada makhluk-makhluk-Nya, baik dengan anggapan sebagai Tuhan yang layak disembah atau menyangka bahwa Al Khaliq mewujud pada suatu benda, ataupun menganggap Al Khaliq akan ridha apabila dilakukan taqarrub kepada-Nya melalui penyembahan kepada benda-benda tersebut.

Berdasarkan hal ini, Islam datang sebagai landasan (hidup) bagi seluruh manusia. Islam menyatakan bahwa ibadah hanyalah dilakukan terhadap dzat yang wajibul wujud. Dialah Allah SWT. Islam telah menjelaskan secara rinci tentang semua itu melalui dorongan akal secara jelas. Islam melontarkan pertanyaan tentang sesuatu yang wajib disembah. Mereka pun menjawab, bahwa Dia adalah Allah. Mereka sendiri yang menetapkan buktinya. Allah SWT berifrman:“Katakanlah, ‘kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka akan menjawab, ’Kpunyaan Allah..’ Katakan lah, ’Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang agung ?’ Mereka menjawab, ’Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa ?’ Katakanlah, ’Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka menjawab, ’Kepunyaan Allah.’ Maka dari jalan manakah kamu ditipu ? Sebenarnya kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan lain beserta-Nya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya, dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lainnya.” (Al Mu’minun 84-91)

“Katakanlah! Tunjukkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup mata hatimu. Siapakah Tuhan selain Allah yang mampu mengembalikan kepadamu ?” (Al An’am 46)

“Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah?” (Ath Thur 43)

“(Dan) Tuhanmu adalah Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang .” (Al Baqarah 163)

“(Dan) sekali-kali tidak  ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.” (Shaad 65)

Semua ayat di atas menunjukkan tidak ada yang berhak disembah, kecuali dzat yang wajibul wujud. Dialah Allah Yang Maha Esa.

Islam datang dengan ajaran  “tauhidul ibadah” terhadap dzat yang wajibul wujud, yang secara aqliyah maupun fitri, telah ditetapkan keberadaan-Nya. Banyak ayat Al-qur’an yang memberi petunjuk yang gamblang, yang menolak adanya banyak sesembahan.

“Ilaah”, menurut arti bahasa, tidak memiliki arti lain, kecuali “yang disembah” (Al Ma’buud). Dan secara syar’i, tidak ditemukan adanya arti lain, selain arti itu. Maka arti ”laa ilaaha” baik secara lughawi atau syar’i, adalah “laa ma’buuda”. Dan “ilallah”, secara lughawi ataupun syar’I, artinya adalah dzat yang wajibul wujud, yaitu Allah SWT.

Berdasarkan hal ini, makna dari syahadat pertama dalam Islam, bukanlah kesaksian atas keesaan Al Khaliq semata, sebagaimana anggapan kebanyakan orang. Tetapi arti yang dimaksud dalam syahadat tersebut adalah adanya kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, yang memiliki sifat wajibul wujud, sehingga peribadahan dan taqdis semata-mata hanya untuk-Nya. Dan secara pasti menolak serta menyingkirkan segala bentuk ibadah kepada selain Allah.

Jadi, pengakuan terhadap adanya Allah, tidaklah cukup sekedar pengakuan tentang keesaan Al Khaliq, tetapi harus disertai adanya konsekuensi pengakuan terhadap keesaan. Sebab, arti ”laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda illallaahu.” Oleh karena itu, syahadat seorang muslim, yaitu bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, mewajibkan kepada dirinya untuk melakukan ibadah hanya kepada Allah, dan membatasi ibadahnya semata-mata kepada Allah saja, sehingga arti tauhid di sini adalah “tauhidut taqdis” terhadap Al Khaliq, yakni “tauhidul ibadah” kepada Allah Yang Maha Esa.

Wallahu A’lam bish-Showab

Disalin dari Buku Bunga Rampai Pemikiran Islam