MAKNA LAA ILAAHA
ILLALLAH
ecara
fitri, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk mensucikan sesuatu
(taqdis). Berdasarkan fitrahnya itulah, manusia melakukan ibadah terhadap
sesuatu. Berarti, ibadah merupakan manivestasi (hasil reaksi) alami dari
naluri beragama (gharizah tadayyun). Oleh karena itu, manusia akan merasakan
suatu ketentraman dan kebahagiaan tatkala melakukan ibadah. Sebab, ketika itu
ia telah memenuhi tuntutan gharizah tadayyun.
Namun
demikian masalah ibadah tidak boleh diserahkan begitu saja kepada hati
sanubari (wijdan) untuk menentukan apa yang seharusnya diibadahi. Sebab bila
hanya mengandalkan wijdan saja, manusia akan cenderung terjerumus dalam
kesalahan dan kesesatan. Sebagian besar sesembahan manusia yang didasarkan
dorongan wijdan saja, adalah suatu hal yang sebenarnya harus dilenyapkan dan
sebagian besar yang disucikan oleh manusia berdasarkan wijdan saja adalah
suatu hal yang harus direndahkan. Apabila wijdan dibiarkan menentukan sendiri
apa yang selayaknya disembah oleh manusia, maka hal ini dapat membawa kepada
kesesatan dalam beribadah, yaitu selain kepada Al Khaliq atau dapat
menjerunuskan pada perbuatan khurafat dengan maksud untuk mendekatkan diri
kepada Al Khaliq.
Hal
seperti itu bisa saja terjadi, sebab wijdan adalah suatu perasaan yang
terbentuk dari naluriah semata (ihsaas gharizy); atau suatu perasaan yang
muncul dari dalam manusia akibat adanya suatu kenyataan yang diindera atau
dirasakan berinteraksi dengan manusia. Hal ini bisa juga muncul dari suatu
proses pemikiran yang dapat membangkitkan perasaan itu apabila manusia kembali
hanya mengandalkan perasaannya saja untuk sampai pada kesimpulan di atas tanpa
disertai proses berpikir, akan cenderung untuk terjerumus dalam kesesatan atau
kesalahan.
Oleh
karena itu, manusia tidak diperbolehkan (begitu saja) memenuhi tuntutan
gharizah, kecuali disertai dengan penggunaan akal. Dengan kata lain, tidak
boleh ia melakukan suatu tindakan yang semata-mata berasal dari dorongan
wijdan saja, tetapi sebaliknya harus menggabungkan akal dengan wijdan.
Berdasarkan hal ini, maka taqdis (mensucikan sesuatu), harus dibangun
berdasarkan proses berpikir yang disertai perasaan wijdan. Akal manusia
memastikan bahwa ibadah hanya dilakukan kepada Al Khaliq, karena Dialah yang
mempunyai sifat azali (tak berawal dan berakhir) dan wajibul wujud (wajib
keberadaannya). Dialah yang telah menciptakan manusia, alam semesta, dan
kehidupan ini. Yang memiliki sifat-sifat sempurna secara mutlak. Jika
seseorang telah meyakini keberadaan-Nya, maka ia akan mengharuskan dirinya
untuk menyembah dan melakukan ibadah kepada-Nya semata.
Adanya pengakuan bahwa Dia adalah Al Khaliq, baik secara fitri maupun aqli,
mengharuskan seseorang yang mengakuinya untuk beribadah kepada-Nya. Sebab,
ibadah adalah suatu bentuk manivestasi perasaannya terhadap keberadaan Al
Khaliq. Ibadah merupakan bentuk manivestasi rasa syukur tertinggi yang wajib
dilakukan makhluk kepada dzat yang telah memberinya nikmat penciptaan dan
pengadaan. Fitrah manusia dan akal manusia mengharuskan adanya ibadah.
Sedangkan akal memastikan bahwa yang berhak disembah, disyukuri, dan dipuji
adalah Al Khaliq, bukan selainnya (makhluk).
Oleh
karena itu, kita menyaksikan bahwa orang-orang yang pasrah (menyerahkan diri)
hanya kepada wijdan saja sebagai bentuk manivestasi taqdisnya tanpa
menggunakan akalnya, terjerumus dalam kesesatan sehingga menyembah banyak
sesembahan, di samping pengakuannya terhadap wujud Al Khaliq yang wajibul
wujud dan bersifat tunggal. Akan tetapi, ketika membangkitkan manivestasi
gharizah tadayyun, mereka mensucikan yang lain. Mereka melakukan ibadah kepada
Al Khaliq, tetapi juga sekaligus kepada makhluk-makhluk-Nya, baik dengan
anggapan sebagai Tuhan yang layak disembah atau menyangka bahwa Al Khaliq
mewujud pada suatu benda, ataupun menganggap Al Khaliq akan ridha apabila
dilakukan taqarrub kepada-Nya melalui penyembahan kepada benda-benda tersebut.
Berdasarkan hal ini, Islam
datang sebagai landasan (hidup) bagi seluruh manusia. Islam menyatakan bahwa
ibadah hanyalah dilakukan terhadap dzat yang wajibul wujud. Dialah Allah SWT.
Islam telah menjelaskan secara rinci tentang semua itu melalui dorongan akal
secara jelas. Islam melontarkan pertanyaan tentang sesuatu yang wajib
disembah. Mereka pun menjawab, bahwa Dia adalah Allah. Mereka sendiri yang
menetapkan buktinya. Allah SWT berifrman:“Katakanlah,
‘kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui
?’ Mereka akan menjawab, ’Kpunyaan Allah..’ Katakan lah, ’Siapakah yang
mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang agung ?’ Mereka
menjawab, ’Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa ?’
Katakanlah, ’Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu
sedang Dia melindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka
menjawab, ’Kepunyaan Allah.’ Maka dari jalan manakah kamu ditipu ? Sebenarnya
kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka
benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak,
dan sekali-kali tidak ada tuhan lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan lain
beserta-Nya
masing-masing
tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya, dan sebagian tuhan itu
akan mengalahkan sebagian yang lainnya.” (Al Mu’minun 84-91)
“Katakanlah!
Tunjukkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta
menutup mata hatimu. Siapakah Tuhan selain Allah yang mampu mengembalikan
kepadamu ?” (Al An’am 46)
“Ataukah
mereka mempunyai Tuhan selain Allah?” (Ath Thur 43)
“(Dan)
Tuhanmu adalah Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang .” (Al Baqarah 163)
“(Dan)
sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan Maha
Mengalahkan.” (Shaad 65)
Semua
ayat di atas menunjukkan tidak ada yang berhak disembah, kecuali dzat yang
wajibul wujud. Dialah Allah Yang Maha Esa.
Islam
datang dengan ajaran “tauhidul ibadah” terhadap dzat yang wajibul wujud, yang
secara aqliyah maupun fitri, telah ditetapkan keberadaan-Nya. Banyak ayat
Al-qur’an yang memberi petunjuk yang gamblang, yang menolak adanya banyak
sesembahan.
“Ilaah”, menurut arti bahasa, tidak memiliki arti lain, kecuali “yang
disembah” (Al Ma’buud). Dan secara syar’i, tidak ditemukan adanya arti lain,
selain arti itu. Maka arti ”laa ilaaha” baik secara lughawi atau syar’i,
adalah “laa ma’buuda”. Dan “ilallah”, secara lughawi ataupun syar’I, artinya
adalah dzat yang wajibul wujud, yaitu Allah SWT.
Berdasarkan hal ini, makna dari syahadat pertama dalam Islam, bukanlah
kesaksian atas keesaan Al Khaliq semata, sebagaimana anggapan kebanyakan
orang. Tetapi arti yang dimaksud dalam syahadat tersebut adalah adanya
kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, yang
memiliki sifat wajibul wujud, sehingga peribadahan dan taqdis semata-mata
hanya untuk-Nya. Dan secara pasti menolak serta menyingkirkan segala bentuk
ibadah kepada selain Allah.
Jadi,
pengakuan terhadap adanya Allah, tidaklah cukup sekedar pengakuan tentang
keesaan Al Khaliq, tetapi harus disertai adanya konsekuensi pengakuan terhadap
keesaan. Sebab, arti ”laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda illallaahu.”
Oleh karena itu, syahadat seorang muslim, yaitu bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, mewajibkan kepada dirinya untuk melakukan ibadah hanya kepada Allah,
dan membatasi ibadahnya semata-mata kepada Allah saja, sehingga arti tauhid di
sini adalah “tauhidut taqdis” terhadap Al Khaliq, yakni “tauhidul ibadah”
kepada Allah Yang Maha Esa.
Wallahu A’lam bish-Showab
Disalin dari Buku Bunga
Rampai Pemikiran Islam