Halaman Depan

Agenda Remaja Masjid

Buletin Rihlah

Buletin Untaian Kata

Contact Person



KEMBALI SUCI

SETELAH SEBULAN BERPUASA
 

 

Dalam konteks fiqih, Idul Fitri artinya kembali kepada kesucian (fitrah) setelah sebulan penuh berpuasa dan berjuang keras melawan godaan nafsu. Dosa-dosa masa lalu terampuni, sehingga kita benar-benar bersih seperti bayi yang baru lahir.Sesuai dengan firman Allah: “Sesungguhnya menanglah (berbahagialah) Orang yang membersihkan dirinya. Nabi saw bersabda: “Barang siapa beribadah di bulan Ramadhan karena iman dan mencari pahala Allah, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.”  (HR. Bukhari, Muslim)

Sebagaimana dosa itu dibagi dua macam yaitu:

1.        Dosa kepada Allah.

2.        Dosa kepada sesama manusia.                   

Dosa kepada Allah karena sifat Rahman dan RahimNya akan terampuni mana kala dilakukan taubatan nasuha. Namun bagaimana dengan dosa terhadap sesama manusia ? Nabi saw bersabda: “Barang siapa mempunyai kesalahan kepada saudaranya yang menyangkut kehormatan atau apa, hendaklah segera minta maaf, sebelum dimana uang dinar tak ada artinya. Jika ia mempunyai amal shaleh, akan diambil seukuran kesalahannya itu. Jika ia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambil dosa saudaranya untuk dipikulkan kepadanya.”(HR.. Bukhari)

 

Dosa terhadap sesama manusia memang sulit dilebur sebelum orang yang bersangkutan saling memaafkan. Karena itu, Idul fitri baru bisa bermakna pensucian diri, manakala di isi dengan silaturahmi dan bermaafan. Proses penyucian telah berjalan sempurna manakala ganjalan di dada sudah tak ada lagi. Yang dulu masih menyimpan dendam, kini mencair menjadi kasih sayang. Yang dulu renggang kini menjadi berpelukan. Sebagaimana firman Allah: “Hendaklah kamu suka memberi maaf dan anjurkanlah berbuat baik, dan menghindarlah dari orang yang bodoh (jahil).”(QS. Al A’raf : 199)

Dengan semangat fitrah itu pula kita diharapkan mampu membenahi intern ummat Islam dalam segala lapangan kehidupan. Hingga kini kita masih dihadapkan pada masalah persatuan dan kesatuan ummat. Kita masih mudah tergoda konflik akibat persoalan-persoalan pribadi, golongan, politik maupun persoalan dunia lainnya, shingga persoalan tersebut seakan sulit dikompromikan. Bahkan tak jarang yang saling curiga dan fitnah diantara kita. Akibatnya ummat Islam begitu mudah di adu domba oleh kelompok yang tak menginginkan ummat Islam berdiri kokoh.

Sayangnya makna idul fitri terkadang bergeser menjadi sebuah pesta yang berlebihan. Tanpa disadari, hari lebaran telah menjadi ajang pemborosan. Setiap anggota keluarga muslim tak segan berlomba-lomba untuk belanja lebaran, pakaian, makanan, perabotan rumah. Bahkan tak jarang yang terpaksa harus berhutang kesana kemari demi pesta lebaran.

Jika dikaitkan dengan makna puasa sebagai upaya menahan diri dan hidup sederhana, makna sikap boros Lebaran itu nampak bertolak belakang.Seolah-olah puasanya tidak memberi pengaruh bagi perbaikan sikap dan pandangan hidupnya.

Yang lebih menyedihkan lagi, jika idul fitri dianggap sebagai hari “kebebasan”. Begitu lebaran tiba, tempat-tempat hiburan ramai diserbu orang, diskotik kembali dibanjiri, warung remang-remang dibuka lagi, perbuatan maksiat digelar kembali. Ini seolah hanya menghormati bulan ramadhan saja, bukan untuk menghormati Allah.

Hal ini, merupakan dampak dari gaya hidup hedonistik yang mulai merambah masyarakat kita. Yakni sikap hidup yang hanya berpuas-puasan dengan kehidupan dunia tanpa peduli dengan lingkungan, bahkan cederung menghalalkan segala cara.

Idul fitri seharusnya mampu menyegarkan kembali jiwa tauhid kita. Gema takbir dan tahmid yang dikumandangkan sejak malam takbiran itu semestinya mampu membongkar kesadaran eksistensi diri yang penuh kelemahan, bahwa yang besar itu hanya Allah. Sehingga tak ada peluang bagi kita untuk berbangga-bangga dengan kemewahan, kedudukan, kekuasan, apalagi bangga dengan dosa-dosa.

Akibat kurangnya pengetahuan agama, atau akibat agama yang masih difahami secara sempit, sehingga yang dianggap kewajiban hanya sekedar zakat, shalat, puasa, haji saja. Sedangkan yang berkaitan dengan moral atau akhlaq bukan dianggap sebagai kewajiban. Akibatnya ubudiyahnya tetap berjalan, namun nilai-nilai moral kurang mewarnai kehidupan kita.

Berbaju baru dan makanan enak dihari lebaran memang dianjurkan oleh rasululloh saw, yakni untuk menghayati rasa syukur karena telah lulus dari ujian Ramadhan. tetapi ini tidak boleh dilakukan secara berlebihan, cara berlebaran yang benar menurut Rasululloh yaitiu:

1.        Membayar zakat fitrah menjelang hari lebaran, sebagai pembersih jiwa sekaligus menyenangkan fakir miskin, karena pada hari lebaran tak boleh ada orang yang sedih karena kelaparan.

2.        Menghidupkan malam takbiran dengan takbir, tahmid, tahlil dan tasbih demi mengagungkan nama Allah.

3.        Melaksanakan shalat Ied di masjid atau lapangan terbuka sebagai ibadah sekaligus syiar Islam dengan kembali menggemakan takbir.

4.        Bersilaturahmi, saling mengunjungi dan bermaaf-maafan keluarga, kawan dan tetangga untuk melebur dosa antar sesama manusia.

Idul fitri memang seharusnya mampu melahirkan semangat baru bagi kita dalam meningkatkan kualitas hidup, baik pribadi maupun masyarakat. Begitupun dalam hal pendalaman dan pengamalan agama, semestinya kita menghayati bahwa Islam merupakan agama yang fitrah, agama yang selaras dengan watak asli kemanusiaan. Jadi jika ingin hidup selaras dan tegar menghadapi zaman, maka ambilah Islam secara keseluruhan, jangan setengah-setengah, apalagi dicampur adukkan dengan cara dan gaya hidup lain. Sesuai dengan firman Allah: “Hai orang beriman ,masuklahkamu kedalam Islam secara keseluruhan (utuh), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.”(QS. Al-Baqarah : 208)

Wallahu A’lam bish-showab

Disalin dari Majalah Bulanan Perkawinan dan keluarga No.308/1998