Halaman Depan

Agenda Remaja Masjid

Buletin Rihlah

Buletin Untaian Kata

Contact Person



NALURI BERAGAMA

            Di dalam diri manusia terdapat suatu potensi hidup (dorongan/semangat) yang senantiasa mendorong melaksanakan kegiatan serta menuntut pemuasan. Potensi tersebut memiliki dua bentuk manifestasi. Yang pertama, menuntut adanya pemuasan yang bersifat pasti, jika tidak terpenuhi maka manusia dapat binasa. Inilah yang dinamakan ‘kebutuhan jasmaniah’ (haajatul ‘udhuwiyah) seperti makan, minum, dan membuang hajat. Yang kedua, menuntut adanya pemenuhan saja, tetapi jika tidak dipenuhi manusia tidak akan mati, melainkan akan merasa gelisah, sehingga terpenuhinya kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan ‘naluri’ (gharizah).

            Dari segi munculnya dorongan (tuntutan pemuasan), naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani. Sebab dorongan kebutuhan jasmani bersifat internal (misalnya, orang ingin makan karena lapar, dan ini tidak memerlukan dorongan dari luar). Sedangkan naluri, sesungguhnya yang mendorong atau yang melahirkan suatu perasaan yang menuntut pemenuhan, dapat berupa: pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang dapat mempengaruhi perasaan, atau berupa suatu kenyataan yang dapat diindera yang mendorong perasaan untuk memenuhinya. Naluri untuk mengembangkan/melestarikan jenis misalnya, bisa dirangsang karena memikirkan atau melihat seorang wanita cantik atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Apabila rangsangan-rangsangan itu tidak ada, maka naluri pun tidak muncul. Contoh lain adalah naluri beragama yang dapat muncul dengan adanya pemikiran-pemikiran mengenai ayat-ayat (tanda kebesaran ciptaan) Allah.

            Dari sini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh-pengaruh suatu naluri akan tampak ketika ada sesuatu yang merangsangnya. Pengaruh naluri itu tidak akan muncul apabila tidak ada hal-hal yang merangsangnya atau apabila terjadi pengalihan terhadap hal-hal yang merangsang dengan menafsirkannya secara keliru sehingga menimbulkan persepsi yang dapat menghilangkan ciri asalnya (yang biasanya merangsang naluri).

            Naluri beragama merupakan naluri yang tetap ada dalam diri manusia. Sebab, naluri ini merupakan perasaan membutuhkan kepada Sang Pencipta Yang Mahakuasa yang mengaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut. Perasaan ini bersifat fitri yang selalu ada selama ia menjadi manusia. Baik ia (orang yang) beriman terhadap Khaliq atau ia kufur terhadap-Nya, namun beriman kepada materialisme dan naturalisme. Perwujudan perasaan ini dalam diri setiap manusia bersifat pasti (harus muncul). Sebab, perasaan ini tercipta sebagai salah satu bagian dari penciptaan manusia, sehingga tidak mungkin memisahkannya atau menghilangkannya dari diri manusia. Itulah yang disebut tadayyun (perasaan beragama).

            Adapun perwujudan dari tadayyun adalah adanya perasaan taqdis (pensucian) terhadap Sang Pencipta Yang Mahakuasa, atau terhadap segala sesuatu yang digambarkannya sebagai penjelmaan dari Sang Pencipta. Kadang kala ‘taqdis’ itu terwujud dalam bentuk yang hakiki (sempurna), sehingga menjadi suatu ‘ibadah’. Tetapi terkadang pula terwujud dalam gambaran/bentuk yang sederhana, sehingga hanya menjadi sebuah kultus atau pengagungan.

            Taqdis adalah penghormatan setulus hati yang paling tinggi, yaitu bukan penghormatan yang berasal dari rasa takut, tetapi berasal dari perasaan tadayyun. Sebab, taqdis bukan merupakan manifestasi dari rasa takut. Manifestasi dari rasa takut tidak lain adalah kegelisahan, pelarian, atau usaha untuk membela diri. Hal ini jelas bertentangan dengan hakikat (kenyataan) ‘taqdis’. Dengan demikian, ‘taqdis’ adalah manifestasi dari perasaan tadayyun bukan dari rasa takut.

            Berdasarkan penjelasan di atas, maka rasa beragama terpisah dengan gharizatul baqa’ (naluri untuk mempertahankan diri) yang salah satu bentuk perwujudannya adalah rasa takut. Oleh karena itu, selalu didapati bahwa setiap manusia sebenarnya ‘beragama’ semenjak Allah SWT menciptakannya; dan setiap manusia pasti menyembah sesuatu. Ada yang menyembah matahari, planet-planet, api , berhala, atau menyembah Allah SWT. Tidak pernah ditemui pada satu masa pun atau pada umat, dan bangsa manapun kecuali mereka senantiasa menyembah sesuatu. Bahkan pada bangsa yang diperintah oleh penguasa yang diktator, yang memaksa mereka melepaskan agamanya sekalipun, mereka tetap beragama dan menyembah sesuatu, meskipun harus melawan kekuatan yang menguasainya serta rela menanggung siksaan yang dideritanya agar dapat menjalankan ibadah tersebut. Oleh karena itu, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mencabut rasa beragama dari diri manusia, atau menghilangkan usaha ‘taqdis’ terhadap Al-Khaliq, atau mencegah manusia beribadah. Yang mampu dilakukan hanya meredamnya untuk sementara waktu. Sebab, ibadah adalah perwujudan alami dari rasa beragama yang merupakan salah satu naluri (yang ada) dalam diri manusia.

            Adapun yang tampak pada sebagian orang atheis, dengan tidak melakukan ibadah atau dengan mengolok-olok ibadah, sebenarnya mereka telah mengalihkan perwujudan naluri beragama dari ibadah kepada Allah SWT menjadi ibadah kepada makhluk-makhluk-Nya dan diwujudkan kepada alam nyata, para pahlawan, atau terhadap sesuatu yang dianggap agung (super) dan lain sebagainya. Di sini mereka telah melakukan kekeliruan besar dan penafsiran yang salah terhadap sesuatu dengan mengalihkan tadayyun itu sendiri. Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami, sebenarnya kufur itu lebih sulit daripada iman, sebab kufur itu merupakan usaha pengalihan manusia dari fitrahnya, dan pengalihan fitrah tersebut dari perwujudannya yang hakiki. Hal itu memerlukan usaha yang keras. Adalah amat sulit mengalihkan manusia dari ketentuan tabiat dan fitrahnya.

 

Disalin dari Bunga Rampai Pemikiran Islam