NALURI
BERAGAMA
Di dalam diri manusia terdapat
suatu potensi hidup (dorongan/semangat) yang senantiasa mendorong melaksanakan
kegiatan serta menuntut pemuasan. Potensi tersebut memiliki dua bentuk
manifestasi. Yang pertama, menuntut adanya pemuasan yang bersifat pasti, jika
tidak terpenuhi maka manusia dapat binasa. Inilah yang dinamakan ‘kebutuhan
jasmaniah’ (haajatul ‘udhuwiyah) seperti makan, minum, dan membuang hajat.
Yang kedua, menuntut adanya pemenuhan saja, tetapi jika tidak dipenuhi manusia
tidak akan mati, melainkan akan merasa gelisah, sehingga terpenuhinya
kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan ‘naluri’ (gharizah).
Dari segi munculnya
dorongan (tuntutan pemuasan), naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani. Sebab
dorongan kebutuhan jasmani bersifat internal (misalnya, orang ingin makan
karena lapar, dan ini tidak memerlukan dorongan dari luar). Sedangkan naluri,
sesungguhnya yang mendorong atau yang melahirkan suatu perasaan yang menuntut
pemenuhan, dapat berupa: pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang dapat
mempengaruhi perasaan, atau berupa suatu kenyataan yang dapat diindera yang
mendorong perasaan untuk memenuhinya. Naluri untuk mengembangkan/melestarikan
jenis misalnya, bisa dirangsang karena memikirkan atau melihat seorang wanita
cantik atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Apabila
rangsangan-rangsangan itu tidak ada, maka naluri pun tidak muncul. Contoh lain
adalah naluri beragama yang dapat muncul dengan adanya pemikiran-pemikiran
mengenai ayat-ayat (tanda kebesaran ciptaan) Allah.
Dari sini, dapat
disimpulkan bahwa pengaruh-pengaruh suatu naluri akan tampak ketika ada
sesuatu yang merangsangnya. Pengaruh naluri itu tidak akan muncul apabila
tidak ada hal-hal yang merangsangnya atau apabila terjadi pengalihan terhadap
hal-hal yang merangsang dengan menafsirkannya secara keliru sehingga
menimbulkan persepsi yang dapat menghilangkan ciri asalnya (yang biasanya
merangsang naluri).
Naluri beragama
merupakan naluri yang tetap ada dalam diri manusia. Sebab, naluri ini
merupakan perasaan membutuhkan kepada Sang Pencipta Yang Mahakuasa yang
mengaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut.
Perasaan ini bersifat fitri yang selalu ada selama ia menjadi manusia. Baik ia
(orang yang) beriman terhadap Khaliq atau ia kufur terhadap-Nya, namun beriman
kepada materialisme dan naturalisme. Perwujudan perasaan ini dalam diri setiap
manusia bersifat pasti (harus muncul). Sebab, perasaan ini tercipta sebagai
salah satu bagian dari penciptaan manusia, sehingga tidak mungkin
memisahkannya atau menghilangkannya dari diri manusia. Itulah yang disebut
tadayyun (perasaan beragama).
Adapun perwujudan dari
tadayyun adalah adanya perasaan taqdis (pensucian) terhadap Sang Pencipta Yang
Mahakuasa, atau terhadap segala sesuatu yang digambarkannya sebagai penjelmaan
dari Sang Pencipta. Kadang kala ‘taqdis’ itu terwujud dalam bentuk yang hakiki
(sempurna), sehingga menjadi suatu ‘ibadah’. Tetapi terkadang pula terwujud
dalam gambaran/bentuk yang sederhana, sehingga hanya menjadi sebuah kultus
atau pengagungan.
Taqdis adalah
penghormatan setulus hati yang paling tinggi, yaitu bukan penghormatan yang
berasal dari rasa takut, tetapi berasal dari perasaan tadayyun. Sebab, taqdis
bukan merupakan manifestasi dari rasa takut. Manifestasi dari rasa takut tidak
lain adalah kegelisahan, pelarian, atau usaha untuk membela diri. Hal ini
jelas bertentangan dengan hakikat (kenyataan) ‘taqdis’. Dengan demikian,
‘taqdis’ adalah manifestasi dari perasaan tadayyun bukan dari rasa takut.
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka rasa beragama terpisah dengan gharizatul baqa’ (naluri untuk
mempertahankan diri) yang salah satu bentuk perwujudannya adalah rasa takut.
Oleh karena itu, selalu didapati bahwa setiap manusia sebenarnya ‘beragama’
semenjak Allah SWT menciptakannya; dan setiap manusia pasti menyembah sesuatu.
Ada yang menyembah matahari, planet-planet, api , berhala, atau menyembah
Allah SWT. Tidak pernah ditemui pada satu masa pun atau pada umat, dan bangsa
manapun kecuali mereka senantiasa menyembah sesuatu. Bahkan pada bangsa yang
diperintah oleh penguasa yang diktator, yang memaksa mereka melepaskan
agamanya sekalipun, mereka tetap beragama dan menyembah sesuatu, meskipun
harus melawan kekuatan yang menguasainya serta rela menanggung siksaan yang
dideritanya agar dapat menjalankan ibadah tersebut. Oleh karena itu, tidak ada
satu kekuatan pun yang mampu mencabut rasa beragama dari diri manusia, atau
menghilangkan usaha ‘taqdis’ terhadap Al-Khaliq, atau mencegah manusia
beribadah. Yang mampu dilakukan hanya meredamnya untuk sementara waktu. Sebab,
ibadah adalah perwujudan alami dari rasa beragama yang merupakan salah satu
naluri (yang ada) dalam diri manusia.
Adapun yang tampak pada
sebagian orang atheis, dengan tidak melakukan ibadah atau dengan mengolok-olok
ibadah, sebenarnya mereka telah mengalihkan perwujudan naluri beragama dari
ibadah kepada Allah SWT menjadi ibadah kepada makhluk-makhluk-Nya dan
diwujudkan kepada alam nyata, para pahlawan, atau terhadap sesuatu yang
dianggap agung (super) dan lain sebagainya. Di sini mereka telah melakukan
kekeliruan besar dan penafsiran yang salah terhadap sesuatu dengan mengalihkan
tadayyun itu sendiri. Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami,
sebenarnya kufur itu lebih sulit daripada iman, sebab kufur itu merupakan
usaha pengalihan manusia dari fitrahnya, dan pengalihan fitrah tersebut dari
perwujudannya yang hakiki. Hal itu memerlukan usaha yang keras. Adalah amat
sulit mengalihkan manusia dari ketentuan tabiat dan fitrahnya.
Disalin dari
Bunga Rampai Pemikiran Islam